Sabtu, 30 Mei 2015

Teknik-teknik Konseling Keluarga dalam Pendekatan Sistem


BAB I
PENDAHULUAN  

A.      Latar belakang
Perubahan paradigma konseling keluarga telah terjadi, yaitu sejak pandangan bahwa klien bermasalah bersumber dari gejala intrapsikik pribadinya, kemudian muncul bahwa pandangan bahwa masalah klien bukan masalah pribadi dari intrapsikik, tetapi merupakan masalah keluarga (keluarga sebagai system).
Pandangan psikonanalisis telah mendasari paradigm lama tentang kendudukan individu (klien) didalam keluarga. Pada setiap anggota keluarga yang dipandang adalah individu-individunya yang dianggap menentukan kehidupan keluarga. Jika seorang anggota bermasalah, seperti terlibat kecanduan narkoba, maka anggota lain tidak akan berpengaruh. Dengan menyembuhkan individu tersebut maka keluarga akan aman-aman saja. Dengan kata lain, masalah indra psikis seorang anggota keluarga tidak terpengaruh apa-apa terhadap keluarga. Jika seorang anggota keluarga terganggu, maka yang perlu dibenahi adalah anggota tersebut. Tidak perlu memperbaiki seluruh sistem keluarganya, sama dengan pasien sakit yang perlu diobati.
Setelah kita memperlajari proses dan tahapan konseling, akan tergambarlah pada pikiran kita bahwa setiap tahapan itu tentu mempunyai teknik konseling tertentu, yaitu bagaimana cara yng tepat bagi konselor untuk memahami dan merespon keadaan klien, terutama emosinya, dan bagaimana melaukkan tindakan positif dalam usaha perubahan perilaku klien kearah positif.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konseling keluarga dengan pendekatan sistem ?
2.    Bagaimana teknik-teknik konseling keluarga dalam pendekatan sistem ?

C.      Tujuan
1.    Untuk mengetahui dan memahami konseling keluarga dengan pendekatan sistem.
2.    Untuk mengetahui dan memahami teknik konseling keluarga dalam pendekatan sistem.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konseling dengan Pendekatan Sistem Keluarga (Family System Counseling)
Teori sistem adalah istilah umum mengkonsepkan sekelompok elemen yang saling berhubungan, misalnya orang yang berinteraksi sebagai satu entitas yang utuh, misalnya keluarga atau kelompok. Sebagai sebuah konsep, teori sistem “lebih mirip pada suatu cara berfikir daripada teori yang koheren dan standar”.
Menurut teori sistem seorang ahli biologi Ludwig Von Bertalanffly bahwa semua organisme yang hidup tersusun atas komponen-komponen yang berinteraksi secara mutual, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Fokus sistem teori secara umum adalah bagaimana interaksi dari bagian-bagian dapat mempengaruhi operasi sistem tersebut secara keseluruhan (http://mickeystud.blogspot.com/2013/12/jenis-jenis-dan-pendekatan-konseling.html).
Ada sejumlah pendekatan konseling yang didasarkan pada teori sistem. Salah satunya adalah teori sistem Bowen, yang dikembangkan untuk membantu orang membedakan dirinya dari keluarganya http://mickeystud.blogspot.com/2013/12/jenis-jenis-dan-pendekatan-konseling.html. Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem. Menurutnya, keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfungsioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka (http://mickeystud.blogspot.com/2013/12/jenis-jenis-dan-pendekatan-konseling.html).
Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindar dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian, dia harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya (https://freesri.wordpress.com/konseling-keluarga/konseling-keluarga/).
Contoh kasus, pasangan suami istri yang menikah pada tingkat kematangan emosional yang sama dibandingan dengan pasangan yang kurang matang, yang lebih rentan mengalami permasalahan dalam hubungan pernikahan mereka, daripada yang lebih matang. Ketika muncul gesekan besar dalam pernikahan, pasangan yang kurang matang cenderung memperlihatkan tingkat fusi yang tinggi (emosi kebersamaan yang tidak terbedakan) ataupemutusan (penghindraan psikologis atau fisik) karena mereka belum memisahkan diri dari keluarga asalnya dengan cara yang sehat, dan belum membentuk konsep diri yang stabil. Ketika ditekan sebagai individu dalam perkawinan, mereka cenderung melakukan triangulasi (memfokuskan diri dari pihak ketiga). Pihak ketiga dapat berupa perkawinan itu sendiri, anak, institusi atau sekolah atau bahkan keluhan somatik. Bagaimanapun juga, hal tersebut mengarah pada interaksi pasangan yang tidak produktif (http://ienhaalfair.blogspot.com/2013/01/teori-pendekatan-bk.html).
Teknik pada pendekatan ini terfokus pada cara untuk menciptakan seorang individu dengan konsep diri yang sehat, yang mampu berinteraksi dengan orang lain dan tidak mengalami ansietas berlebih, setiap kali hubungannya mengalami tekanan. Cara untuk mencapai tujuan ini melibatkan penilaian atas diri sendiri dan keluarga dengan sejumlah cara. Salah satunya melalui konstruksi genogram multigenerasi. Genogram melibatkan informasi yang berhubungan dengan suatu kelurga beserta hubungan masing-masing anggotanya selama setidaknya 3 generasi terakhir. Genogram dapat membantu orang dalam mengumpulkan informasi, hipotesis dan melacak perubahan hubungan dalam konteks peristiwa masa lalu dan kontemporer (http://ienhaalfair.blogspot.com/2013/01/teori-pendekatan-bk.html).
Pendekatan Sistem Bowen memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari sistem ini adalah sebagai berikut :
1.      Pendekatan ini berfokus pada riwayat keluarga multigenerasi dan pentingnya memahami dan menghadapi pola-pola dimasa lalu, agar dapat menghindari pengulangan tingkah laku tertentu dalam hubungan antar pribadi .
2.      Pendekatan ini menggunakan genogram dalam memplot hubungan riwayat, yang merupakan alat spesifik yang asalnya dari pendekatan Bowen.
Sedangkan kekurangan dari pendekatan sistem Bowen adalah sebagai berikut
1.        Pendekatan ini kompleks dan ekstensif. Teorinya tidak dapat dipisahkan dari terapi. Dan jalinan tersebut membuat pendekatan ini lebih mempunyai keterlibatan daripada kebanyakan pendekatan terapi lainnya.
2.        Klien yang dapat memetik keuntungan paling banyak dari teori Bowen adalah yang mempunyai disfungsi berat atau pembedaan diri yang rendah.
3.        Pendekatan ini membutuhkan investasi cukup besar pada berbagai tingkatan, yang mungkin sebagian klien tidak mau atau tidak bisa melakukannya.

B.         Teknik-teknik Konseling Keluarga dalam Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem yang dikemukakan oleh perez (1979) mengembangkan 10 teknik konseling keluarga, yaitu :
1.      Sculpting (mematung)
Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota keluarga yang menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan diantara anggota-anggota keluarga. Klien diberi izin menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa rasa cemas. Sculpting digunakan konselor untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui tindakan (perbuatan). Hal ini bisa dilakukan dengan “the family relationshop tebelau” yaitu anggota keluarga yang “mematung”, tidak memberikan respon apa-apa, selama seorang anggota menyatakan perasaannya secara verbal (Sopyan S.Willis, 2008 : 139-140).
2.      Role playing (bermain peran)
Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran tertentu kepada anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga itu, misalnya anak memainkan peran sebagai ibu. Dengan cara itu anak akan terlepas atau terbebas dari perasaan-perasaan penghukuman, perasaan tertekan dan lain-lain. Peran itu kemudian bisa dikembalikan lagi kepada keadaan yang sebenarnya jika ia menghadapai suatu prilaku ibunya yang mungkin kurang ia sukai. Role playing atau bermain peran, sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000).
Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.
Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi. (http://s1pgsd.blogspot.com/2012/11/model-pembelajaran-role-playing.html. Posted by Sriudin sahrudin Posted on 00:17).
Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.
3.      Silence (diam)
Dalam proses konseling, adakalanya seorang konselor pada untuk bersikap diam. Adapun alasan konselor melakukan hal ini dapat dikarenakan konselor yang menunggu klien bepikir, bentuk protes karena klien bicara dengan berbelit-belit atau menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien bbas berbicara. Diam disini bukan bararti tidak ada komunikasi akan melainkan tetap ada yait melalui perilaku non verbal. Yang paling ideal, diam itu paling tinggi 5-10 detik dan selebihnya dapat diganti dengan dorongan minimal. (Namora Lumongga Lubis. 2011: 101).
Apabila anggota berada dalam konflik dan frustasi karena ada salah satu anggota lain yang suka bertindak kejam, maka biasanya mereka datang kehadapan konselor dengan tutup mulut. Kedaan ini harus dimanfaatkan konselor untuk menunggu suatu gejala prilaku yang akan muncul menunggu munculnya pikiran baru. Disamping itu juga digunakan dalam menghadapi klien yang cerewet, banyak omong dan lain-lain.
4.      Confrontation (konfrontasi)
Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara konseling keluarga. Atau konfrontasi adalah suatu teknik konseling yang memantang klien untuk meliht adanya diskrepansi atau inkonsistensi secara perkataan dan bahasa badan (perbuatan), ide awal dengan ide berikutnya, senyum, dengan kedihan dan sebagainya. Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasabya yang banyak omong?”, konselor bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding. (Namora Lumongga Lubis. 2011: 99)
5.      Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara bertanya,. 
6.      Listening (mendengarkan)
Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga didengarkan dengan sabar oleh yang lain. Konselor menggunakan teknik ini untuk mendengarkan dengan perhatian terhadap klien. Perhatian tersebut terlihat dari cara duduk konselor yang menghadapkan muka kepada klien, penuh perhatian terhada setiap pernyataan klien, tidak menyela ketika klien sedang serius.
Listening skill (keterampilan mendengarkan)
Keterampilan ini terdiri dari;
1)            Attending, yaitu pernyataan dalam bentuk verbal dan non verbal ketika klien memasuki ruang konselor,
2)            Paraphrasing, yaitu respon konselor terhadap pesan utama dalam pernyataan klien. Respon tersebu merupakan pernyataan ringkas dalam bahasa konselor sendiri tentang pernyataan klien,
3)            Clarfyng, yaitu pengungkapan diri dan memfokuskan diskusi. Konselor memperjelas masalah klien,
4)            Perception checking, yaitu menentukan ketepatan pendengaran konselor. (Sofyan S. Willis. 2009:141-142).
7.      Recapitulating (mengikhtisarkan)
Recapitulating (mengikhtisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk mengikhtisarkan pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, sehingga dengan cara itu kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan terfokus. Misalnya konselor mengatakan “rupanya ibu merasa rendah diri dan tak mampu menjawab jika suami anda berkata kasar”.
8.      Summary (menyimpulkan)
Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor akan menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar konseling bisa berlanjut secara progresif. Hasil percakapan konselor dank lien hendaknya disimpulakn sementara oleh konselor untuk memberikan gambaran kilas balik (feedback) atas hal-hal yang telah dibicarakan sehingga klien dapat menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap, meningkatkan kualitas diskusi, dan mempertajam atau memperjelas fokus pada wawacara konseling.
9.      Clarification (menjernihkan)
Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau menjernihkan suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar. Klarifikasi juga terjadi untuk memperjelas perasaan yang diungkap secara samar-samar. Misalnya mislannya konse,or mengatakan kepada jeni, bukan kepada saya”. Biasanya klarifikasi lebih menekankan kepada aspek makna kognitif dari suatu pernyataan verbal klien.
a.       Rasional
Dalam keadaan ragu-ragu, sering klien berbicara samar-samar alias tidak jelas. Mungkin dia diliputi perasaan tertentu mungkin menyimpan rahasia, maka klien kurang jelas pengungkapannya.
Mungkin pula ketidakjelasan bersumber dari lemahnya kemampuan mengkomunikasi sesuatu secara jelas. Dalam hal-hal seperti ini konselor harus jeli pengamatannya. Dia berusaha menggunakan teknik “menjernihkan” atau clarifying. (Sofyan S. Willis. 2013:197-198).

b.      Tujuan latihan
Supaya klien dapat menyatakan pesannya (perasaan, pikiran, pengalaman) dengan jelas, alasan yang logis, dan dapat mengilustrasikan perasaan dengan cermat, perlu konselor dilatih supaya mampu :
1.      Menangkap pesan klien yang samar-samar alias tidak jelas atau yang meragukan.
2.      Menyusun kalimat yang menjernihkan/ meng-clear-kan (clarifying) pernyataan-pernyataan (pesan-pesan) yang samar-samar, meragukan, dan tidak jelas.
c.       Materi
1.      Katihan menangkap pesan-pesan yang samar-samar dan yang jelas.
2.      Latihan menyusun kalimat-kalimat menjernihkan terhadap pernyataan klien yang samar-samar dan meragukan.
10.  Reflection (refleksi)
Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikann perasaan yang dinyatakan klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya. “tanpaknya anda jengkel dengan prilaku seperti itu”.
Secara lebih sederhana, refleksi dapat didefenisikan sebagai upaya konselor memperoleh informasi lebih mendalam tentang apa yang dirasakan oleh klien dengan cara memantulkan kembali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Dalam hal ini, seorang konselor dituntut untuk menjadi pendengar yang aktif. Hal senada juga diungkapkan oleh Bolton (2003) yang mengatakan bahwa bahwa mendengar adalah lebih dari hanya mendengarsaja. Lebih khusus ia mengatakan dalam proses mendengarkan terdapat unsur menyimak, yang berarti konselor harus memerhatikan sungguh-sungguh peran yang disampaikan oleh klien. (Namora Lumongga Lubis. 2011: 93-94)
Ada tiga jenis refleksi yaitu:
1)                  Reflecting feelings (Merefleksi Perasaan)
Pada refleksi perasaan, konselor mencerinkan kembali perasaan yang disampaikna oleh klien.

Contoh:
Klien: saya begitu yakin akan menamatkan sekolah pada usia sekarang. Tetapi saya gagal menyelesaikannya. Saya merasa bodoh.
Konselor: jadi, kegagalan itulah yang menyebabkan anda merasa bodoh?
2)                  Reflecting meanings
Apabila perasaan dan fakta dicmpurkan dalam suatu respons yang akurat, hal inilah disebut sebagai refleksi makna.
Contoh :
Klien : Ibu guru supaya terus menerus bertanya tentang kehidupan saya. Saya tidak ingin dia melakukan hal itu.
Konselor : anda merasa jengkel karena dia tidak merespek privasi anda.
3)                  Summative reflections (refleksi sumatif)
Terjadi suatu refleksi sumatif, bila diungkapkan kembali secara singkat tema dan perasaan utama yang dieksresikan pembicara selama durasi percakapan yang lebih lama dari pada yang terlip oleh bentuk refleksi lainnya.
Menurut Bolton (2002), kalimat-kalimat berikut dapat digunakan untuk memulai refleksi sumatif: “tema yang selalu anda ulang seperti adalah …” “marilah kita melakukan rekapitulasi dari dari apa yang sudah kita bicarakan sejauh ini …“saya memikirkan apa yang anda katakana. Saya melihat suatu pola dan saya ingin mengeceknya. Anda …”
Ciri-ciri respons refleksi adalah:
a.       Tidak menilai (nonjudgmental).
b.      Refleksi akurat dari apa yang dialami oleh pihak yang lain.
c.       Ringkas.
d.      Kadang-kadang lebih banyak dalam dan pada kata-kata yang terucap.



















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Teori sistem adalah istilah umum mengkonsepkan sekelompok elemen yang saling berhubungan, misalnya orang yang berinteraksi sebagai satu entitas yang utuh, misalnya keluarga atau kelompok. Sebagai sebuah konsep, teori sistem “lebih mirip pada suatu cara berfikir daripada teori yang koheren dan standar”.
Ada sejumlah pendekatan konseling yang didasarkan pada teori sistem. Salah satunya adalah teori sistem Bowen, yang dikembangkan untuk membantu orang membedakan dirinya dari keluarganya
Pendekatan sistem yang dikemukakan oleh perez (1979) mengembangkan 10 teknik konseling keluarga, yaitu :
1.            Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota keluarga yang menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan diantara anggota-anggota keluarga.
2.            Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran tertentu kepada anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga itu.
3.            Silence (diam) apabila anggota berada dalam konflik dan frustasi karena ada salah satu anggota lain yang suka bertindak kejam, maka biasanya mereka datang kehadapan konselor dengan tutup mulut.
4.            Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara konseling keluarga.
5.            Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara bertanya.
6.            Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga didengarkan dengan sabar oleh yang lain.
7.            Recapitulating (mengikhtisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk mengikhtisarkan pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, sehingga dengan cara itu kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan terfokus.
8.            Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor akan menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar konseling bisa berlanjut secara progresif.
9.            Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau menjernihkan suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar.
10.        Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikann perasaan yang dinyatakan klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya.

















DAFTAR PUSTAKA

Lubis Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik. Jakarta: Kencana
Willis, Sofyan S. 2008. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung: Alfabeta
_____________.2013. Konseling Individual Teori Dan Praktek. Bandung: Alfabeta.